Permata Sejati didalam Jiwa Manusia
Di salah satu kota, tinggallah seorang lelaki tua. Dia sering disebut guru. Dia memiliki ilmu yang tinggi, sehinga membuatnya menjadi orang yang bijaksana. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang untuk menuntut ilmu kepadanya.
Pada saat itu, dia memiliki satu orang pemuda yang berguru kepadanya. Pemuda itu sangat rajin. Dia memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan. Hanya dalam waktu singkat. Hanya dalam waktu singkat, dia telah berhasil menguasai banyak sekali ilmu. Sebentar lagi dia bisa menuntaskan belajarnya.
Namun, sama seperti kebanyakan pemuda lainnya, si murid ini pun memiliki rasa penasaran yang begitu besar. Dan juga rasa mencintai benda-benda indah. Setiap kali dia pergi ke pasar, dia akan berlama-lama memandangi pakaian-pakaian indah yang dijual disana.
"Seandaianya saja guruku memakai pakaian indah ini, pastilah beliau akan lebih dihormati daripada saat ini." gumam si murid. "Sayang sekali, guru selalu memakai pakaian lusuh." Setelah memandangi baju itu cukup lama si murid pun pergi meninggalkan pasar.
Suatu hari, rasa penasaran si murid tidak bisa tahan lagi. Dia pun bertanya kepada gurunya, "Guru, apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?" "Apa itu?" tanya Guru. Mengapa anda selalu berpakaian seadanya? Padahal anda orang yang begitu hebat.
"Mengapa pakaianku menjadi masalah?" tanya guru lagi. Si murid mengambil nafas panjang sebelum mulai berbicara. "Orang sehebat guru seharusnya mengenakan pakaian yang indah. Agar orang-orang lebih menghormati anda. Bukankah masa ini pakaian sangat penting? Karena itu akan menunjukan siapa anda."
Guru memejamkan mata sejenak. Kemudian dia mengeluarkan sebuah cincin dari dalam sakunya. Cincin yang terlihat begitu tua dan kotor. "Jika kamu bisa menjual cincin ini seharga satu keping emas, maka aku akan menjawab pertanyaanmu," kata guru. "Pergilah engkau ke pasar."
Si murid membawa cincin tersebut ke pasar. Dia langsung menghampiri toko pertama yang dia temukan. "Permisi, saya punya sebuah cincin. Dan saya ingin menjualnya. Apakah Tuan bisa membantu saya?" tanya si murid kepada pemilik toko.
Pemilik toko mengamati cincin itu sejenak. Kemudian dia berkata, "Cincin ini tidak berharga. Tapi aku, bisa membelinya dengan harga sekeping perak. Tidak, itu bahkan lebih mahal." Si murid meminta kembali cincin itu dan menuju ke toko lainnya.
"Permisi nyonya, saya ingin menjual cincin ini seharga satu keping emas," kata si murid. Kali ini dia langsung menyebutkan harga cincin itu. Berharap kali ini si pemilik toko akan mau mendengarkan mau mendengarkannya permintaanya.
Namun, pemilik toko itu justru menggelengkan kepalanya. "Cincin ini bergitu tua dan terlihat berkarat. Harga paling bagus adalah sekeping perak. Jika kamu bersedia, aku bisa membantumu." Lagi-lagi harga yang ditawar tidak lebih dari sekeping perak.
Si murid membawa cincin itu dari satu ke toko lainnya. Dan semua pemilik toko selalu menolaknya. Dia bahkan menawarkan cincin itu kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya. Sepertinya, memang mustahil untuk menjual cincin itu dengan harga sekeping emas. Si murid pun memutuskan untuk pulang ke rumah gurunya.
"Maafkan saya guru, tidak ada yang mau membeli cincin ini seharga satu keping emas. Saya telah gagal menjalankan perintah dari guru," kata si murid kepada gurunya. "Masih ada satu cara. Jual cincin ini ke pemilik toko emas. Biarkan dia menawarkan lebih dulu." kata guru.
Sekali lagi, si murid pergi sambil membawa cincin tersebut. Dia menuju ke toko emas. "Jika toko barang biasa saja tidak mau membelii cincin ini, apakah toko emas akan membelinya?" gumam si murid. Dia pun masuk ke toko emas itu dan menunjukan cincin yang dibawanya.
"Hmm," gumam pemilik toko emas. Dia meneliti cincin itu menggunakan sebuah kaca pembesar. Berkali-kali dia membolak-balik cincin itu. "Apakah kali ini aku juga akan ditolaknya?" tanya si murid dalam hati. "Yah, aku tidak akan begitu kecewa jika tuan ini memang menolak membelinya."
Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. "Aku akan membeli cincin ini seharga seribu keping emas," kata pemilik toko emas. "Dari mana kamu memdapatkan cincin ini akan muda?" lanjutnya lagi. Si murid terkejut, dia sama sekali tidak bisa berkata-kata "Seribu keping emas?" batinnya. Dia pun segera berlari menemui gurunya.
"Guru! Guru!" teriak si murid memanggil gurunya. "Pemilik toko emas itu menghargai cincin milik guru sebanyak seribu koin emas! Rupanya orang-orang di pasar tidak bisa mengenali cincin yang berharga ini," kata si murid sambil mengacungkan cincini tua milik gurunya.
Guru mengambil kembali cincin miliknya dan mengacungkannya ke langit. Sinar matahari membuat batu permata yang tertempel di cincin itu berkilau. "Inilah jawaban atas pertanyaanmu tadi," kata guru. "Apa maksud guru?" tanya si murid kebingungan.
"Sebagus apapun cincin ini, jika orang yang melihat tidak bisa menilainya, maka cincin ini menjadi tidak bernilai. Sama seperti manusia. Permata yang ada di dalam hati setiap manusia hanya bisa dikenali jika kita memana bisa melihat ke dalam jiwanya. Butuh kearifan untuk bisa melihat," kata sang guru menjelaskan.
Begitulah, jiwa manusia tidak hanya dinilai dari penampilan luarnya saja, tutur kata maupun sikap yang dilihat. Tapi lebih jauh daripada itu. Si murid menerung sejenak. "Guru, apakah saya boleh terus mengikuti Guru?" tanya si murid. Sang guru pun tersenyum.